Artikel ini dimuat dalam Majalah Forum Keuangan, Pusdiklat Keuangan Umum, Badan Diklat Keuangan, Kementerian Keuangan. URL: http://www.bppk.depkeu.go.id/webku/index.php/component/content/article/5/401
Rumor tentang akan adanya pemblokiran atas layanan Blackberry beberapa waktu yang lalu, telah menimbulkan polemik. Blackberry sendiri merupakan produk jenis smartphone dari pabrikan teknologi informasi Researh In Motion (RIM), Kanada. Polemik berkembang baik media massa ataupun berbagai situs jejaring sosial. Topik polemiknya pun menjadi melebar. Berawal dari isu pemblokiran situs porno, namun belakangan juga melibatkan isu pemungutan pajak dan bahkan kedaulatan negara. Rasanya belum pernah ada produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang diperdebatkan seramai ini. Menarik untuk mencermati perdebatan ini dari sudut pandang ekonomi dan politik informasi.
Fenomena Ekonomi Informasi
Blackberry memang fenomena tersendiri dalam perkembangan TIK. Tersendiri dalam arti, Blackberry memulai satu model bisnis yang tidak hanya menjual perangkat telepon (handset) namun juga sekaligus layanan yang terkait dengannya. Layanan Blackberry memungkinkan para penggunanya untuk saling berkoneksi dengan moda komunikasi nirkabel selayaknya SMS yang disebut dengan Blackberry Messenger. Pembeda utama layanan ini dengan SMS biasa adalah adanya jaminan keamanan dari RIM selaku penyedia layanan. RIM menjamin keamanan informasi yang dikirimkan antar pengguna Blackberry Messenger. Menurut RIM, informasi yang ditransmisikan melalui layanan BlackBerry memang dienkripsi sedemikian rupa sehingga RIM sendiri tak mampu mendekripsi (memecahkan kode enkripsi) dan membacanya (Vivanews, 8/8/2010).
Penyampaian informasi yang cepat dan aman merupakan suatu keniscayaan. Semua orang ingin agar informasi yang diinginkannya tersaji segera dan aman. Dalam konteks ekonomi informasi, RIM melihat adanya kebutuhan ini dengan cepat dan secara tepat menyajikan solusinya. Fenomena ini adalah fenomena ekonomi informasi. Satu mekanisme ekonomi yang memperlakukan informasi sebagai alat tukar ataupun komoditas. Namun pada sisi yang lain, informasi (ekonomik) juga tetap merupakan alat bantu untuk pengambilan keputusan (ekonomik). Pada aras ini, sebenarnya prinsip dasar ekonomi tentang adanya relasi antara harga dengan penawaran/permintaan atas komoditi, tetaplah berlaku. Blackberry menawarkan solusi tentang relasi itu secara jelas: relatif murah, cepat dan (yang terpenting) informasi yang aman. Pengguna merespon (secara rasional) bahwa memang mereka membutuhkan perangkat dan layanan itu. Transaksi terjadi, dan mekanisme pasar terbentuk.
Tentu saja hubungan klasik harga dengan penawaran/permintaan itu memerlukan penjelasan tambahan. Menyimak data dari operator telepon seluler Telkomsel, sebenarnya layanan Blackberry ini sudah ada sejak tahun 2005. Namun dengan tingkat penetrasi pengguna yang biasa-biasa saja. Para penggunanya justru lebih banyak dari lingkup korporasi, bukan individu. Pemakai Blacberry di Indonesia sepertinya meningkat tajam setelah publik dunia melihat bagaimana Obama sukses menggunakan perangkat ini dalam kampanye pencalonan kepresidenannya. Ada satu pengalaman penulis. Seorang rekan, berkebangsaan Korea, pada hari kedua keberadaannya di Indonesia sudah membeli perangkat itu dari satu mall yang ada di Jakarta. Lantas, ia menanyakan nomor identitas (PIN) Blackberry saya agar dia dapat betukar pesan melalui fasilitas Blackberry Messenger. Ketika saya jawab bahwa saya tidak punya, dia keheranan dan sembari bercanda dia menyatakan bahwa bukannya setiap orang di sini harus punya.
Jadi dalam ekonomi informasi, sebagaimana fenomena dalam ekonomi konvensional, faktor non-harga (seperti selera atau gaya hidup) juga sangat memengaruhi tingkat penawaran/permintaan suatu komoditas. Sejalan dengan itu pula, maka mekanisme ekonomi informasi juga harus mempertimbangkan beban pajak. Terkait dengan perangkat dan layanan Blackberry, terdapat beberapa aspek pajak yang harus dipertimbangkan: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perangkat dan layanan dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari semua pihak yang menikmati aliran tambahan kemampuan ekonomis dari transaksi perangkat dan layanan ini. Para pihak tersebut dapat mencakup: produsen, distributor/retailer, operator telepon seluler hingga pengembang aplikasi.
Di antara para pihak tersebut bisa jadi merupakan entitas bisnis yang tidak berada di Indonesia. Namun secara kaidah perpajakan internasional, proses pemajakan atas entitas bisnis yang berada di luar wilayah suatu negara tetap dapat dilakukan dengan mekanisme tertentu. Ketentuan perpajakan Indonesia mengatur hal ini dengan ketentuan tentang Subjek Pajak Luar Negeri ataupun Bentuk Usaha Tetap. Isu selanjutnya dalam kaitan ini tentu law enforcement atas ketentuan yang telah ada.
Aspek Politik Informasi
De Figueiredo (2002) menyatakan bahwa salah satu instrumen yang dapat memengaruhi kebijakan selain uang dan lobby adalah informasi. Bekerjanya aliran informasi dalam suatu organisasi, antar organisasi ataupun masyarakat secara keseluruhan tetaplah dipengaruhi oleh variabel politik. Tidak terkecuali, isu yang berkaitan pemblokiran layanan Blackberry ini. Selama ini, lalu-lintas informasi dalam layanan BlackBerry di seluruh dunia langsung ditarik ke server milik RIM. Pemerintah di negara yang mengijinkan layanan BlackBerry, tak bisa menyadap jaringan ini karena mereka tak memiliki kontrol atas server RIM tersebut. Suatu kondisi yang sampai dengan tingkat dan negara tertentu isepertinya “mengusik kedaulatan” negara di bidang politik informasi. Namun ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku umum. Al Jazeera.net (6/8/2010) menyatakan bahwa RIM ternyata memberikan akses kepada pemerintah negara tertentu (AS, Inggris, India, China) untuk dapat membaca informasi yang lalu-lalang di jaringannya. Atas dasar ini, Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) merasa diperlakukan tidak adil dan menuntut RIM untuk memberikan perlakuan yang sama.
Sepertinya hal-ihwal di seputaran pemblokiran layanan Blackberry di Indonesia juga tidak beranjak dari tema besar politik informasi ini. Hal yang tidak aneh dalam dinamika politik informasi. Justru poin pentingnya adalah bagaimana semua pemangku kepentingan yang ada mengelola isu-isu ini sebagai bagian dari isu publik secara keseluruhan sehingga berujung pada kemashalatan publik. Akhirnya, sebagaimana kata Mosco (1998), dari perspektif ekonomi-politik informasi (penyajian) informasi tidak lepas dari kepentingan baik kepentingan pemilik modal, negara atau kelompok lainnya. Media dapat menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Proses dominasi ini menunjukkan bahwa penyebaran dan aktivitas komunikasi massa yang sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.
REFERENSI
Aljazeera.net, 06 Aug 2010 07:16 GMT, Behind the Blackberry Ban, URL: http://english.aljazeera.net/focus/2010/08/20108516113706244.html
de Figueiredo, John M. 2002. “Lobbying and Information in Politics”, Business and Politics 4(2): 125-129.
Mosco, Vincent, Janet Wacko (editor). 1988. The Political Economy of Information (Studies in communication & society series). University of Winconsin Press.
Vivanews, JUM'AT, 6 AGUSTUS 2010, 18:36 WIB, Ada Apa di Balik Pemblokiran BlackBerry? URL: http://teknologi.vivanews.com/news/read/169515-ada-apa-di-balik-pemblokiran-blackberry-
No comments:
Post a Comment